" Perjuangan tidak akan berakhir hari ini sebagaimana ia tidak bermula hari ini "

Tuesday, May 16, 2006

Kertas kerja ke ( 019 / siri kesembilan )
RUKUN BAIAH ASAS KEILTIZAMAN BERJAMAAH .

USUL KESEMBILAN

و كل مسـالة لا ينبنى عليها عمل فالخوض فيها من التكلف الذي نهينا عنه شـرعا و من ذلك كثرة التفريعات للأحكام التى لم تقع و الخوض فى معانى الآيات القرآنية التى لم يصل إليها العلم بعد و الكلام فى المفاضلة بـين الأصحاب رضـوان الله عليهم و ما شجـر بينهم من خلاف و لكل منهم فضل صحبته و جزاء نيته و فى الــتـأول منـدوحـة

" Pengendalian masaalah yang tidak membuahkan amal adalah tergolong dalam perkara yang memberat - beratkan sementara syara' melarang kita berbuat demikian . Sebagai contoh : Membincang cabang - cabang hukum yang tidak realiti dan membincangkan penafsiran ayat - ayat suci Al quran yang tidak tercapai oleh ilmu dan membicara banding keistemewaan dikalangan para sahabat rhm. dan pendapat - pendapat mereka . Sedang setiap mereka mempunyai kelebihan sebagai sahabat dan mereka diganjari menurut niatnya sementara masaalah taawil adalah suatu keluasan ."

ULASAN .

Pengendalian masaalah feqah seringkali dihadapkan persoalan التيسير و التشديد iaitu sikap meringan dan memberatkan dalam sesuatu masaalah . Sememangnya prinsip umum syariat Islamiyyah ialah التيسير iaitu tidak memberatkan penganutnya untuk mengamalkan tuntutan ugama .

Antara wasiat baginda Rasul saw kepada Muaz ibnu Jabal dan Abu Musa Al Asyaari ketika dihantar ke Yaman :

يـســرا و لا تـعـســرا رواه البخارى فى المغازى

“ Ringankan dan jangan memayahkan ”

Namun fenomena yang berlaku hari ini menyaksikan sebahagian manusia yang silap mengambil kesempatan diatas peruntukkan syariat .Mereka terlalu bermudah - mudah sehingga tanpa segan silu mereka menghalalkan yang haram dan sebagainya .Sementara segolongan yang lain pula terlalu keras tindakan mereka sehingga menyempitkan keluasan Islam .

Soalnya bagaimana kita mahu menangani peruntukkan syariat ( التيسير ) ini ?

Antara contoh “ ringan ” yang dikehendaki oleh syara’ :
[1]

1. Berikan keluasan kepada ummat Islam terhadap apa yang telah diluaskan oleh Allah swt ke atas mereka .

2. Meringankan beban mereka yang telah terlanjur melakukan maksiat dengan mengingatkan mereka keluasan rahmat Allah , pintu taubat sentiasa terbuka dan sebagainya .

3. Memudahkan penyampaian maklumat ( ilmu ) kepada masyarakat . Sebagaimana sabda Rasulullah saw. :

عـلـموا و يـســروا و لا تـعـســروا

( و قـال صـاحب الحاشيه : و رواه البخارى فى الأدب و أحمد فى المسند )

“ Ajarlah dan permudahkan , jangan kamu memayahkan ”

Kesilapan nyata apabila persoalan yang tidak diwajibkan penelitiannya oleh syara' diambil berat sementara perkara - perkara pokok dalam ugama dibiarkan berlalu begitu saja . Sebagai contoh nyata diketengahkan sikap sebahagian mereka yang sibuk membuat kajian tentang hal - hal yang tidak membuahkan amal , seperti menilai dan mengkategorikan jenis - jenis permata yang menjadi binaan syurga dan sebagainya .

Mereka pula tidak mengambil pusing persoalan yang melanda ummat hari ini , seperti gejala murtad dan keruntuhan moral dan 1001 jenis penyakit sosial yang memerlukan penyelesaian secara menyeluruh .

Negara kita hari ini begitu jelas kita lihat , kedapatan sebahagian mereka yang berstatus intelek , tetapi malang aksi mereka hanya terhad pada pengkajian - pengkajian yang lampau seperti aliran mu'tazilah , qadariah dan sebagainya dengan tidak pula mereka mendedahkan bahaya aliran pemikiran semasa seperti sekularisme , kapitalisme , hedonisme dan sebagainya .

Lebih menyedihkan lagi , disaat ummat berhempas pulas menyelamatkan aqidah mereka dari ancaman musuh , kedengaran suara - suara yang membincangkan perihal sahabat Rasulullah rhm. dengan meletak nilai sahabat ini lebih mulia dari sahabat itu dan sebagainya .

Sehingga ada pihak tergamak menjadi hakim kepada peristiwa lampau yang melibatkan Saiyidina Ali dan Saiyidina Mua'awiyah , juga tragedi perang Siffin dan mereka menyalahkan sebahagian dan membenarkan sebahagian yang lain . Persoalannya siapa mereka untuk menjadi hakim terhadap peristiwa lampau itu .

Sabda Rasulullah saw .
[2]

خـيـر الـنـاس قـرنى ثم الـذين يـلونـهم ثم الذين يلونهم

" Sebaik baik manusia qurunku kemudian yang berikutnya kemudian berikutnya ."

Zaman ummat Islam mengalami kekusutan dan kecelaruan terhadap ugama mereka , ahli ilmu dan jamaah Islam mesti memainkan peranan mengobjektifkan jalan keluar supaya komitmen mereka terhadap ugama tetap utuh dan bersemi . Mengheret mereka kegelanggang khilafiah dan pengkajian hal - hal yang rumit dalam Islam hanyalah menambah kebingungan mereka .

[1] Lihat ضـوابط للدراسات الفقهية oleh : Salman bin Fahd Al U’ddah
[2] فـتـح الـبـارى 11 / 248 رقم 6429

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

PERMASALAHAN KEPADA PENGGUGURAN BAYI YG BERLAKU ITU ADALAH KESAN DARI TIDAK DITERAPKANNYA SISTEM SOSIAL ISLAM. HANYA DGN TERTEGAKNYA DAULAH KHILAFAH SAHAJALAH SISTEM SOSIAL ISLAM AKAN DITERAPKAN. OLEH ITU ...."KHILAFAH IS THE ONLY SOLUTION.."... TIADA KEMULIAAN TANPA ISLAM DAN TIADA ISLAM TANPA PENERAPAN SYARIATNYA DAN TIADA SYARIAT TANPA DAULAH KHILAFAH.

mungkin ada kebaikan utk dikongsi bersama....
...dikutip dan disesuaikan dari tulisan syabab HTI:AL-WAI’IE Edisi 59///Hafidz Abdurrahman
BAGAIMANA MEMPERLAKUKAN IBU BAPA DENGAN BAIK?

Usaha-usaha untuk menghancurkan keluarga Muslim telah berhasil menghancurkan nilai-nilai agung dan mulia dalam hubungan anak dan orang tua, yang biasa dikenal dengan birr al-wâlidayn. Lalu, bagaimana sebenarnya batasan dan bentuk-bentuknya?
Secara literal, birr adalah sebutan untuk semua kebaikan, kebalikan dari ‘aqq (jamaknya ‘uqûq); sedangkan mabrûr adalah sebutan untuk birr yang dilakukan. Misalnya haji mabrûr, maksudnya adalah haji yang tidak tercemar dengan dosa sekecil apapun, atau perkara yang diharamkan.

Kerana itu, birr al-wâlidayn dapat didefinisikan sebagai: semua bentuk kebaikan untuk mentaati kedua orang tua. Makna “semua bentuk kebaikan untuk mentaati keduanya” itu tidak lain adalah dengan melaksanakan seluruh perintahnya dan tidak pernah membantahnya. Sebab, dengan membantahnya akan membuat mereka marah, dan kemarahan mereka menyebabkan kemurkaan Allah. Rasulullah saw. bersabda:
Keridhaan Allah bergantung pada keridhaan orang tua, kemurkaan Allah juga bergantung pada kemurkaan orang tua. (HR Ibn Hibban dan al-Hakim).

Karena itu, hukum birr al-walidayn ini adalah wajib; bahkan termasuk di antara bentuk kewajiban terkedepan di antara kewajiban-kewajiban yang lain. Birr al-walidayn ini tentu tidak akan terwujud kalau tidak disertai dengan akhlak yang baik kepada kedua orang tua. Misalnya, ketika berbicara dengan mereka tidak mengeraskan suara melebihi suara mereka; tidak menatap mata, termasuk wajah mereka, tetapi menundukkan muka dan pandangan di hadapan mereka. Ketika melaksanakan keinginan mereka, perlu disegerakan, baik diminta atau tidak, apalagi jika diminta oleh mereka; termasuk mengupayakan apa saja yang mereka perlukan. Jika hendak meninggalkan mereka, tentu tidak akan meninggalkannya, kecuali sepengetahuan mereka. Sebab, kalau semua itu tidak dilakukan, niscaya mereka akan gelisah, cemas, dan khawatir.

Birr al-wâlidayn merupakan bentuk ketaatan yang boleh membuat kedua orang tuanya menjadi ridha, hatinya tenang dan bergembira. Karena itu, jika seorang anak melaksanakan perintah orang tuanya, tetapi dengan cara yang tidak membuatnya senang dan puas, maka apa yang dilakukan anak tersebut belum bisa dianggap birr al-wâlidayn. Inilah yang dipahami oleh umat Islam generasi awal. Bahkan cucu Nabi, al-Hasan, tidak berani makan di tempat yang sama dengan ibu dan ayahnya, karena khawatir akan mendahului mereka. Uways al-Qarni pun sanggup menggendong ibunya dalam jarak yang jauh, tidak lain karena pengabdiannya kepada orangtuanya. Subhânalâh!
Semua itu dilakukan dengan sempurna dan secara baik oleh generasi salaf shâlih karena mereka menyadari, bahwa kedua orangtua itu bisa menjadi surga dan neraka bagi mereka.1 Mereka juga memahami Hadis Rasulullah saw., bahwa dengan birr al-wâlidayn itu umur dan rezeki mereka di dunia akan ditambah oleh Allah Swt.2 Birr al-wâlidayn itu juga akan boleh menebus dosa dan kesalahan mereka, bahkan menjadi jaminan mereka masuk surga di akhirat kelak.3

Bentuk-bentuk birr al-wâlidayn itu boleh diklasifikasikan menjadi dua, iaitu ketika orangtua kita masih hidup dan setelah mereka meninggal.
Pertama, ketika orang tua masih hidup, birr al-wâlidayn ini wajib didahulukan berbanding fardu kifayah. Sebab, birr al-wâlidayn ini hukumnya fardu ‘ain. Karena itu, birr al-wâlidayn wajib didahulukan berbanding dari pergi berjihad;4 bahkan wajib didahulukan berbanding fardu ‘ain yang lain, seperti berhaji 5 atau memenuhi hak istri dan anak;6 apalagi terhadap perkara sunnah ataupun mubah.
Namun demikian, meski pun sedemikian besar kewajiban taat kepada mereka, tetap tidak boleh menaati keduanya dalam perkara maksiat; meskipun pada saat yang sama tetap wajib bersikap baik kepada mereka.7
Jika mereka masih hidup maka kita wajib melayani dan merawat mereka.8 Apabila keduanya memberikan perintah yang berbeda, perintah ibulah yang harus didahulukan. Setelah itu, baru perintah ayah.9 Kalau mereka mempunyai tanggungan, kita wajib membebaskan tanggungan mereka.10 Begitu juga ketika mereka mempunyai nadzar, kita pun berkewajiban untuk menunaikannya.11 Jika mereka akhirnya tidak berkesempatan naik haji, kita pun wajib menghajikan mereka.12 Bukan hanya itu, Rasulullah saw. juga mengajari kita, sebagaimana dituturkan Abdullah bin Amr, dengan sabdanya:
Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah).
Hubungan anak dan kedua orang tuanya juga harus senantiasa dibalut dengan doa;13 anak harus senantiasa mendoakan kedua orang tuanya, dan orangtua juga harus senantiasa mendoakan anak-anaknya. Menjadi kebanggaan orangtua jika seorang anak menisbatkan namanya kepada orang tuanya, apalagi jika anaknya berhasil dan menjadi tokoh ternama. Itu akan menjadi kebanggaan dan sanjungan bagi orangtuanya. Karena itu, tidak boleh seorang anak menisbatkan namanya kepada orang lain, selain kepada orangtuanya.14 Pada saat yang sama, anak pun tidak boleh mencemuh, atau mengolok-olok kedua orangtuanya;15 betapapun bodoh dan salahnya mereka.

Jika berjauhan dengan mereka, kita pun wajib menyambung silaturahim dengan mereka, baik dengan menelefon mereka, mengirim surat kepada mereka, ataupun yang selainnya. Semua itu tidak lain hanyalah untuk menjaga ketenangan hati mereka. Inilah bentuk-bentuk ketaatan kepada kedua orangtua selama mereka masih hidup.

Kedua, jika salah seorang di antara mereka, ataupun keduanya telah meninggal dunia, maka Islam telah mengajarkan bentuk-bentuk ketaatan tersebut, antara lain:

1.Menunaikan wasiat dan memenuhi janji mereka;

2.Mendoakan dan memintakan keampunan untuk mereka;

3.Menyambung hubungan dengan mereka, antara lain, dengan menyambung hubungan mereka dengan teman-teman mereka;

4.Bersedekah atas nama mereka dan untuk mereka;

5.Menunaikan ibadah haji atas nama dan untuk mereka;

6.Bergegas melakukan amal salih, sebagai anak salih yang pahalanya akan terus mengalir untuk mereka;

7.Menziarahi pusara mereka;

8.Tidak mencela dan mengungkit-ungkit keburukan mereka.
Inilah gambaran dan bentuk-bentuk ketaatan kepada kedua orangtua yang harus dibangunkan didalam kehidupan keluarga Muslim. Dengan kehidupan seperti ini, mereka bukan saja akan menjadi keluarga yang tenang dan tenteram (sakînah) serta penuh kasih sayang (mawaddah wa rahmah), tetapi sekaligus akan menjadi keluarga yang ideal, yang mampu menghasilkan gerenasi terbaik sebagaimana yang pernah dilahirkan oleh para sahabat Rasulullah saw. Pada saat yang sama, mereka pun akan menjadi keluarga yang baik didalam mengembangkan dakwah. Wallâhu Rabb al-Musta‘ân, wa ilayhi at-takilân. 

Catatan Kaki:

1.HR Ibn Majah dari Abu Umamah.

2.HR Ahmad dari Anas; HR al-Hakim dari Muadz bin Anas.

3.HR Ahmad dan al-Hakim.

4.HR al-Hakim, al-Mustadrak, II/104.

5.HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.

6.HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibn Umar; HR al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar.

7.HR Ahmad dan QS al-Ankabut: 08.

8.HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.

9.Muhammad Nur, Manhaj at-Tarbiyyah an-Nabawiyyah li at-Thifl ma’a Namâdzuj at-Tathbîqiyyah min Hayâh as-Salaf as-Shâlih, hlm. 162.

10.HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Ibn Majah.

11.HR Ibn Huzaymah dari Abu Hurairah.

12.HR Ibn Huzaymah dari Ibn Abbas.

13.HR Ahmad dan al-Bukhari dari Abu Hurairah.

14.HR al-Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi Waqqash.

15.HR Abdurrazzaq dalam Mushannaf, XI/138.

2:55 AM

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home