NYANYIAN DAN MUZIK DALAM ISLAM
Artikel 002
Hati bagaikan seorang raja atau panglima perang yang mengawasi prajurit dan tentaranya. Dari hatilah muncul segala perintah terhadap anggota badan. Rasulullah saw. bersabda:
"Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh ini." [1]
( Bukhari 1/126 dan 4/290 -Al-Fath;
Muslim 1599 dari Nu'man bin Basyir radliyallahu 'anhuma).
Pengertian Al-Ghina' dan Al-Ma'azif : Imam Ahmad Al-Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina' hal 47; Al-ghina' secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang seumpama dengannya (seperti rajaz secara khusus).
Di dalam Al-Qamus (hal 1187), al-ghina' dikatakan sebagai suara yang diperindah.
Imam Ahmad Al-Qurthubi melanjutkan bahwa sebahagian dari imam-imam kita ada yang menceritakan tentang nyanyian orang Arab, berupa suara yang teratur tinggi rendah atau panjang pendeknya, seperti al-hida' yaitu nyanyian pengiring unta dan dinamakan juga dengan an-nashab (lebih halus dari al-hida'). (Lihat Kasyful Qina' oleh Imam Ahmad Al-Qurthubi 47; Al-Qamus hal 127).
Al-Ma'azif adalah jamak dari mi'zaf. Dalam Al-Muhieth (hal 753) kata ini diartikan sebagai al-malahi (alat-alat muzik dan permainan-permainan) contohnya al-'ud (sejenis kecapi), at-thanbur (gitar atau rebab). Sementara dalam An-Nihayah diartikan dengan duf-duf.
Disebut pula al-'azif artinya al-mughanni (penyanyi) dan al-la'ibu biha (yang memainkannya). (Tahrim Alat Ath-Tharb, Syaikh Al-Albani hal 79).
Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman (hal 330) menyatakan bahwa al-ma'azif adalah seluruh alat muzik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa.
Imam Adz-Dzahabi dalam As-Siyar (21/158) dan At-Tadzkirah (2/1337) menjelaskan definisi ini dengan mengatakan bahwa al-ma'azif mencakup seluruh alat muzik mahupun permainan yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau syair. Contohnya seruling, rebab, simbal, terompet dan lain-lain. (lihat Tahrim Alat Ath-Tharb oleh Syaikh Al-Albani hal 79).
Definisi yang telah disebutkan para ulama ini membahagi al-ghina' menjadi dua kelompok:
Nyanyian yang pertama, seperti yang sering kita temukan dalam berbagai aktiviti manusia sehari-hari; dalam perjalanan, pekerjaan berat dan sebagainya. Sebahagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan "bernyanyi" untuk menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan kejenuhan dan rasa sepi.
Contoh yang pertama ini di antaranya al-hida', lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangis dan rengekan buah hati mereka atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam senda gurau dan permainan mereka, wallahu a'lam. (Kaffur Ri'a' hal 59-60, Kasyful Qina' hal 47-49)
Disebutkan pula oleh sebagian ulama bahwa termasuk yang pertama ini adalah selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata yang keji, hal-hal yang diharamkan seperti menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang wanita, menyebut sifat atau nama benda-benda yang memabukkan.
Bahkan sebagian ulama ada pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab) apabila nyanyian itu mendorong semangat untuk giat beramal, menumbuhkan hasrat untuk memperoleh kebaikan seperti syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau yang dilakukan sebagian shahabat seperti yang terjadi dalam peristiwa Khandaq:
Ya Allah, jika bukan karena engkau tidaklah kami terbimbingDan tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat Maka turunkanlah ketenangan kepada kami Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.Dan yang lain misalnya:Jika Rabbku berkata padaku Mengapa kau tidak merasa malu bermaksiat terhadap-KuKau sembunyikan dosa dari makhluk-KuTapi dengan kemaksiatan kau menemui Aku
Imam Ahmad Al-Qurthubi dalam Kasyful Qina' (hal 48) yang menyebutkan bahwa yang seperti ini termasuk nasehat yang berguna dan besar ganjarannya.
Demikian pula yang dikatakan Imam Al-Mawardi bahwa syair-syair yang diungkapkan oleh orang-orang Arab lebih disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan rasa waspada terhadap tipuan atau rayuan dunia, cinta kepada akhirat dan mendorong kepada akhlak yang mulia.
Kesimpulannya, syair seperti ini boleh jika selamat atau bebas dari kekejian dan kebohongan ( Kaffur Ri'a' hal. 50 ).
Nyanyian di kalangan orang Arab waktu itu seperti al-hida', an-nashbu dan sebagainya yang biasa mereka lakukan tidak mengandung sesuatu yang mendorong keluar dari batas-batas yang telah ditentukan. (lihat Muntaqa Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh Ali Hasan hal. 290).
Nyanyian yang kedua, seperti yang dilakukan para biduwan atau biduwanita (para penyanyi, artis dan sebagainya) yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama) suatu lagu, dari rangkaian syair, kemudian mereka dendangkan dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak nafsu serta mengghairahkannya.
Nyanyian seperti ( yang kedua ) inilah yang sesungguhnya diperselisihkan para ulama, sehingga mereka terbahagi dalam tiga kelompok yaitu: Yang mengharamkan, memakruhkan dan yang membolehkan (Kasyful Qina' hal 50).
Hujjah dan dalil kelompok yang mengharamkan dan memakruhkan akan senantiasa wujud di kalangan umat ini sebagaimana wujudnya segelintir orang yang menegakkan Islam, menasehati umat agar tetap berpegang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai dengan yang difahami oleh para shahabat, tabi'in dan pengikut-pengikut mereka serta imam-imam pembawa petunjuk.
Rasulullah saw. bersabda :
"Senantiasa akan ada segolongan dari ummatku menampakkan al-haq, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakan mereka dan menyelisihi mereka sedang mereka teguh di atasnya."
(HR. Bukhari 7311 dan Muslim (170) (1920),
Abu Dawud 4772, At-Tirmidzi 1418, 1419, 1421).
DALIL-DALIL DARI AL-QUR'AN
Firman Allah Ta'ala:
"Dan di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan, bagi mereka siksa yang menghinakan."
(Luqman: 6).
Al-Wahidi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kebanyakan para mufassir mengartikan "lahwal Hadits" dengan" nyanyian".
Penafsiran ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu dan kata Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya (Jami' Ahkamul Qu'ran), penafsiran demikian lebih tinggi dan utama kedudukannya.
Hal itu ditegaskan pula oleh Imam Ahmad Al-Qurthubi (Kasyful Qina' hal 62) bahwa di samping diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, penafsiran itu disampaikan pula oleh orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah saw. dengan doa beliau:
"Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini, dan ajarkanlah dia ta'wil (penafsiran Al-Quran)."
(HSR. Bukhari 4/10 dan Muslim 2477 dan Ahmad 1/266, 314, 328, 335).
Dengan adanya doa ini para ulama dari kalangan shahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas dengan Turjumanul Qur'an (Penafsir Al-Qur'an).Juga pernyataan Rasulullah tentang Ibnu Mas'ud: "Sesungguhnya ia pentalkin yang mudah dipahami." (Kasyful Qina' hal 62).
Ibnu Mas'ud menerangkan bahwa, "lahwal hadits" itu adalah al-ghina'.
Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali."
Riwayat ini shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani
dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal 143.
Demikian pula keterangan 'Ikrimah dan Mujahid.
Al-Wahidi dalam Tafsirnya (Al-Wasith 3/441) menambahkan: "Ahli ilmu Ma'ani menyatakan: ini termasuk semua orang yang cenderung memilih permainan dan al-ghina' (nyanyian), seruling-seruling atau alat-alat musik daripada Al-Qur'an, meskipun lafadhnya dengan kata al-isytira', sebab lafadh ini banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan."
(Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 144-145)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa "suaramu" dalam ayat ini artinya adalah segala perkara yang mengajak kepada kemaksiatan. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa al-ghina' adalah da'i yang paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia kepada kemaksiatan (Mawaridul Aman hal 325).
Mujahid --dalam kitab yang sama-- menyatakan "suaramu" di sini artinya al-ghina' (nyanyian) dan al-bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula keterangan Al-Hasan Bashri bahwa "suara" dalam ayat ini artinya duff (rebana), wallahu a'lam.
Firman AllahTa'ala:
"Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa heran. Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi?"
(An-Najm 59-61).
Kata 'Ikrimah --dari Ibnu Abbas--, as-sumud artinya al-ghina' menurut dialek Himyar. Dia menambahkan: "Jika mendengar Al-Qur'an dibacakan, mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini."
Ibnul Qayyim menerangkan bahwa penafsiran ini tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa as-sumud artinya "lalai dan lupa". Dan tidak pula menyimpang dari pendapat yang mengatakan bahwa arti kamu bernyanyi-nyanyi di sini adalah kamu menyombongkan diri, bermain-main, lalai dan berpaling. Karena semua perbuatan tersebut terkumpul dalam al-ghina' (nyanyian), bahkan ia merupakan pemicu munculnya sikap tersebut.
(Mawaridul Aman hal 325).
Imam Ahmad Al-Qurthubi menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan menyatakan bahwa segi pendalilan diharamkannya al-ghina' adalah karena posisinya disebutkan oleh Allah sebagai sesuatu yang tercela dan hina (Kasyful Qina' hal 59).
Dalil-dalil dari As-Sunnah
Dari Abi 'Amir --(Abu Malik)-- Al-Asy'ari, dari Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam beliau bersabda:
"Sungguh akan ada di kalangan ummatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr dan alat-alat musik...."
(HSR. Bukhari 10/51/5590 -Fath).
2. Dari Abi Malik Al-Asy'ari dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, beliau bersabda:
"Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang mereka namakan dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang karena alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah benamkan mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi." (HR Bukhari dalam At-Tarikh 1/1/305; Al-Baihaqy, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb oleh Syaikh Al-Albani hal 45-46).
Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat: Seruling-seruling (musik-musik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika mendapat musibah." (Dikeluarkan oleh Al-Bazzar dalam Musnadnya juga Abu Bakar Asy-Syafi'i, Dliya' Al-Maqdisy, lihat Tahrim Alat At-Tharb oleh Syaikh Al-Albani hal 51-52).
Dari 'Abdur Rahman bin 'Auf ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya saya tidak melarang (kamu) menangis, tapi saya melarangmu dari dua suara (yang menunjukkan) kedunguan dan kejahatan yaitu suara ketika gembira yaitu bernyanyi-nyanyi, bermain-main dan seruling-seruling syethan; dan suara ketika mendapat musibah, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju dan ratapan-ratapan syaithan." (Dikeluarkan oleh Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Abiddunya, Al-Ajurri dan lain-lain, lihat Tahrim Alat At-Tharb hal 52-53).
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:"Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagiku -atau mengharamkan-- khamr, judi, al-kubah dan seluruh yang memabukkan haram." Syaikh Al Albani menyatakan (dalam Tahrim Alat Ath Tharb hal 55) bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Qais bin Habtar An Nahasytali dari Ibnu 'Abbas dari dua jalan yaitu:
Yang pertama:
Dari 'Ali bin Badzimah, dikeluarkan oleh Abu Daud (3696), Al Baihaqi (10/221), Ahmad dalam Al Musnad (1/274) dan Al Aysribah (193), Abu Ya'la dalam Musnadnya (2729), Ibnu Hibban dalam shahihnya (5341), Abul Hasan Ath Thusi dalam Al Arba'in (13/1), Ath Thabrani dalam Mu'jamul Kabir (12/101-1-2)-/12598,12599) dari Sufyan bin 'Uyainah dari 'Ali bin Badzimah: Sufyan berkata:"Saya bertanya kepada 'Ali bib Badzimah:"Apakah Al Kubah itu?" Ia berkata:"Ath Thablu (gendang)."Yang kedua: Dari 'Abdul Karim Al Jazari dari Qais bin Habtar dengan lafadh:"
"Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas mereka khamr, judi dan al kubah -yakni genderang/gendang-, dan beliau berkata:"Seluruh yang memabukkan itu haram.
Syaikh Al Albani mengatakan (dalam Tahrim Alat Ath Tharb hal 56) hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (1/289), dan dalam Al Asyribah (14), Ath Thabrani (12601) dan Al Baihaqi (10/213-221), dan isnadnya shahih dari kedua jalan ini dari Qais ini, dan ia telah dinyatakan tsiqah oleh Abu Zur'ah dan Ya'qub dalam Al Ma'rifah (3/193), Ibnu Hibban (5/308), An Nasai, Al Hafidh dalam At Taqrib, dan Adz Dzahabi meringkas dalam Al Kasyif pernyataan ketsiqahan Qais ini dari An Nasai dan menyetujuinya. Oleh karena itulah Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini ketika memberikan komentarnya terhadap Musnad Imam Ahmad dalam dua tempat (4/158, 218).
Dan Ibnu Hazm menyatakan pendapat yang janggal tentang Qais dan ia mengatakan:"(Qais itu) Majhul!" Padahal sekelompok ulama yang tsiqah (terpercaya dalam periwayatan hadits) telah meriwayatkan hadits ini dari Qais.Yaitu hadits-hadits yang luput dari Ibnu Hazm dalam ia tidak memasukkannya ke dalam kumpulan hadits tentang haramnya musik (yang justeru dilemahkannya).
Sebagaimana hadits yang semakna yang diriwayatkan dari shahabat 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash." Hadits tersebut juga mempunyai tiga jalan yang saling menguatkan dan dengan alasan itu maka hadits 'Abdullah bin 'Amru itu derajatnya hasan, minimal hasan li ghairihi (karena ada pendukung), bahkan dapat dikatakan shahih dengan hadits sebelumnya dan yang berikutnya."
Demikian keterangan Syaikh Al Albani hafidhahulllahu dalam
Tahrim Alat Ath Tharb hal 56-58).
Dari hadits-hadits tersebut, kita dapatkan bahwa para ulama ahli hadits telah menerangkan bahwa al kubah yang dimaksud dalam hadits itu adalah ath thabl (gendang/genderang), Wallahu a'lam.
6. Dari 'Imran Hushain, ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
"Akan terjadi pada umatku, lemparan batu, perubahan bentuk dan tenggelam ke dalam bumi. Dikatakan: 'Ya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kapan itu terjadi?' Beliau menjawab: "Jika telah tampak alat-alat musik, banyaknya penyanyi wanita dan diminumnya khamr-khamr." (Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu Abiddunya, dan lain-lain, lihat Tahrim Alat At-Tharb hal 63-64).
Dari Nafi' maula Ibnu 'Umar, ia bercerita bahwa Ibnu 'Umar pernah mendengar suara seruling gembala lalu meletakkan jarinya di kedua telinganya dan pindah ke jalan lain dan berkata: "Wahai Nafi', apakah engkau mendengar?" Aku jawab: "Ya, dan ia terus berjalan sampai kukatakan tidak." Setelah itu ia letakkan lagi tangannya dan kembali ke jalan semula. Lalu beliau berkata:
"Kulihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar suling gembala lalu berbuat seperti ini".
(Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4925 dan
Baihaqi 10/222 dengan sanad hasan).
Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (Muntaqa Nafis hal 304) mengomentari hadits ini sebagai berikut: "Jika seperti ini yang dilakukan mereka terhadap suara-suara yang tidak menyimpang dari sikap-sikap yang lurus, maka bagaimanakah dengan nyanyian dan musik-musik orang-orang zaman sekarang (zaman beliau rahimahullah, apalagi di zaman kita pent)"
Dan Imam Ahmad Al-Qurthubi dalam Kasyful Qina' hal. 69 menyatakan: "Bahwa pendalilan dengan hadits-hadits ini dalam mengatakan haramnya nyanyian dan alat-alat musik, hampir sama dengan segi pendalilan dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Bahkan dalam hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dengan adanya laknat bagi penyanyi maupun yang mendengarkannya."
Di dalam hadits pertama, Imam Al-Jauhari menyatakan bahwa dalam hadits ini, digabungkannya penyebutan al-ma'azif dengan khamr, zina dan sutera menunjukkan kerasnya pengharaman terhadap alat-alat musik, dan sesungguhnya semua itu termasuk dosa-dosa besar. (Kasyful Qina' hal 67-69).
ATSAR 'ULAMA SALAF
Ibnu Mas'ud menyebutkan bahwa: "Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman." Ini dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh Syaikh Al-Albani dalam Tahrim Alat At-Tharb (hal 145-148), ucapan seperti ini juga dikeluarkan oleh Asy-Sya'bi dengan sanad yang hasan.
Dalam Muntaqa Nafis min Talbis Iblis (hal 306), Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu Mas'ud berkata: "Jika seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaithan akan ikut menyertainya dan berkata, 'Bernyanyilah kamu!' Dan apabila ia tak mampu memperindahnya, syaithan berkata lagi, 'Berangan-anganlah kamu (mengkhayal).'" (Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al-Mushannaf 10/397, sanadnya shahih).
Pada halaman yang sama beliau sebutkan pula ucapan Ibnu 'Umar ketika melewati sekelompok orang yang berihram dan ada seseorang yang bernyanyi, beliau berkata: "Ketahuilah Allah tidak mendengarkanmu." Dan ketika melewati seorang budak perempuan bernyanyi ia berkata: "Jika syaithan membiarkan seseorang tentu benar-benar dia tinggalkan budak ini."
Ibnu Jauzi menyatakan pula bahwa: Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ditanya tentang nyanyian. Ia menjawab: "Saya melarangmu dari nyanyian dan membencinya untukmu." Orang itu bertanya: "Apakah nyanyian itu haram?" Al-Qasim menukas: "Wahai anak saudaraku, jika Allah memisahkan al-haq (kebenaran) dan al-bathil (kebatilan) pada hari kiamat, maka di manakah nyanyian itu berada?"
Ibnu Abbas juga pernah ditanya demikian, dan balik bertanya, "Bagaimana pendapatmu jika al-haq dan al-bathil datang beriringan pada hari kiamat, maka bersama siapakah al-ghina' (nyanyian) itu?" Si penanya menjawab: "Tentu saja bersama al-bathil." Kemudian Ibnu Abbas berkata, "(Benar) Pergilah! Engkau telah memberikan fatwa (yang tepat) untuk dirimu."
Dan Ibnu Qayyim menerangkan bahwa jawaban Ibnu Abbas ini berkenaan dengan nyanyian orang Arab yang bebas dan bersih dari pujian-pujian dan penyebutan terhadap minuman keras atau hal-hal yang memabukkan, zina, homoseks atau lesbian, juga tidak mengandung ungkapan mengenai bentuk dan rupa wanita yang bukan mahram, dan bebas pula dari iringan musik baik yang sederhana sekalipun seperti ketukan-ketukan ranting tepukan tangan dan sebagainya.
Dan tentunya jawaban beliau ini akan lebih keras dan tegas seandainya beliau melihat kenyataan yang ada sekarang ini. Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid mengomentari jawaban ini dan menyatakan bahwa jawaban ini (jawaban Al-Qasim dan Ibnu Abbas) adalah jawaban bijak dan sangat tepat (lihat Muntaqa Nafis hal 306).
Ibnu Baththah Al-Ukbari (ketika ditanya tentang mendengarkan nyanyian) berkata: "Saya melarangnya, saya beritahukan padanya bahwa mendengarkan nyanyian itu diingkari oleh ulama dan dianggap baik oleh orang-orang tolol. Yang melakukannya adalah orang-orang sufi yang dinamai para muhaqqiq sebagai orang-orang Jabriyah; mereka adalah orang-orang yang rendah kemauannya, senang mengadakan bid'ah, menonjol-nonjolkan kezuhudan...." (Muntaqa Nafis hal. 308)
Asy-Sya'bi mengatakan bahwa orang-orang yang bernyanyi dan yang (mengundang) penyanyi untuk dirinya pantas untuk dilaknat. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya, lihat Kasyful Qina' hal. 91; Muntaqa Nafis min Talbis Iblis hal. 306)
Fudhail bin 'Iyadl mengatakan bahwa al-ghina' (nyanyian) adalah mantera zina (Kasyful Qina' hal 90; Mawaridul Aman hal. 318)
Yazid Ibnul Walid kepada pemuka-pemuka Bani Umayah: "Wahai Bani Umayyah, hati-hatilah kamu terhadap al-ghina' sebab ia mengurangi rasa malu, menghancurkan kehormatan dan harga diri, dan menjadi pengganti bagi khamr sehingga pelakunya akan berbuat sebagaimana orang yang mabuk khamer berbuat. Oleh karena itu, kalau kamu merasa tidak dapat tidak (mesti) bernyanyi juga (dan untuk apa?), jauhilah perempuan, karena nyanyian itu mengajak kepada perzinaan." (Mawaridul Aman hal. 318).
Adl-Dlahhak menegaskan: "Nyanyian itu menyebabkan kerusakan bagi hati dan mendatangkan murka Allah." (Muntaqa Nafis hal. 307) Imam Abu Bakar Ath-Thurthusi dalam khutbah (kata pengantar) kitabnya Tahrimus Sima' menyebutkan:
"...Oleh karena itu saya pun ingin menjelaskan yang haq dan mengungkap syubhat-syubhat yang bathil dengan hujjah dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Akan saya mulai dengan perkataan para ulama yang berhak mengeluarkan fatwa ke seluruh penjuru dunia, agar orang-orang yang selama ini secara terang-terangan menampakkan kemaksiatan (bernyanyi dan bermain musik) sadar bahwa mereka telah teramat jauh menyimpang dari jalan kaum mukminin. Allah Ta'ala berfirman:
"Dan siapa yang menentang Rasul setelah jelas bagi mereka petunjuk serta mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum muslimin, kami biarkan dia memilih apa yang diingini nafsunya dan kami masukkan ia ke Jahanam, sedangkan Jahanam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali." (An-Nisa: 115)"
Selanjutnya beliau (Imam Ath-Thurthusi) menyebutkan bahwa Imam Malik melarang adanya nyanyian dan mendengarkannya. Menurut Imam Malik apabila seseorang membeli budak wanita dan ternyata ia penyanyi, hendaknya segera dikembalikan sebab hal itu merupakan 'aib. Ketika beliau ditanya tentang adanya rukhshah (keringanan) yang dilakukan (sebagian) penduduk Madinah, beliau menjawab: "Yang melakukannya (bernyanyi dan bermain musik) di kalangan kami adalah orang-orang fasiq."
Imam Abu Hanifah dan ahli Bashrah maupun Kufah seperti Sufyan Ats-Tsaury, Hammad, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi dan lain-lain membenci al-ghina' dan menggolongkannya sebagai suatu dosa dan hal ini tidak diperselisihkan di kalangan mereka.
Madzhab Imam Hanafi ini termasuk madzhab yang sangat keras dan pendapatnya paling tegas dalam perkara ini. Hal ini ditunjukkan pula oleh shahabat-shahabat beliau yang menyatakan haramnya mendengarkan alat-alat musik, walaupun hanya ketukan sepotong ranting.
Mereka menyebutnya sebagai kemaksiatan, mendorong kepada kefasikan, dan ditolak persaksiannya.
Intisari perkataan mereka adalah: Sesungguhnya mendengar nyanyian dan musik adalah kefasikan dan bersenang-senang menikmatinya adalah kekufuran. Inilah perkataan mereka meskipun dengan meriwayatkan hadits-hadits yang tidak tepat apabila dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Mereka (ulama madzhab Hanafi) juga menyeru agar seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak mendengarkan jika melewatinya atau jika bunyi musik itu kebetulan berada di rumah tetangganya. Hal ini pernah dilakukan Abu Yusuf ketika mendengar ada yang bernyanyi dan bermain musik di sebuah rumah, beliau berkata: "Masuklah dan tidak perlu ijin, karena mencegah kemungkaran adalah fardlu (wajib). Maka jika tidak boleh masuk tanpa ijin, terhalanglah bagi manusia menegakkan kewajiban ini."
Kemudian Imam Ath-Thurtusi melanjutkan pula keterangannya bahwa Imam Syafi'i dalam Kitab Al-Qadla, Al-Umm [6/214]) menegaskan sesungguhnya al-ghina' adalah permainan yang dibenci dan menyerupai kebatilan bahkan merupakan sesuatu yang mengada-ada. Siapa yang terus menerus (sering) bernyanyi maka ia adalah orang dungu dan ditolak persaksiannya.
Para shahabat Imam Syafi'i yang betul-betul memahami ucapan dan istinbath (pengambilan kesimpulan dari dalil) madzhab beliau, dengan tegas menyatakan haramnya nyanyian dan musik; dan mereka mengingkari orang-orang yang menyandarkan kepada beliau (Imam Syafi'i) mengenai penghalalannya. Di antara mereka adalah Qadly Abu Thayyib Ath-Thabari, Syaikh Abi Ishaq dan Ibnu Shabbagh." Demikian pernyataan Imam At-Thurtusi rahimahullah (Mawaridul Aman Muntaqa min Ighatsati Lahfan hal 301).
Ibnul Qayyim menyebutkan (dalam Mawaridul Aman 303) bahwa Imam Ibnu Shalah dalam fatwanya menyatakan:
"Adapun yang perlu diketahui dalam permasalahan ini adalah bahwa sesungguhnya duf (rebana), alat musik tiup dan nyanyian-nyanyian, jika terkumpul (dilakukan/dimainkan secara bersamaan) maka mendengarkannya haram, demikian pendapat para imam madzhab dan ulama-ulama muslimin lainnya. Dan tidak ada keterangan yang dapat dipercaya dari seseorang yang ucapannya diikuti (jadi pegangan) dalam ijma' maupun ikhtilaf bahwa ia (Imam Syafi'i) membolehkan keduanya (nyanyian dan musik).
Adapun persaksian yang dapat diterima beritanya dari shahabat-shahabat beliau adalah dalam permasalahan bagaimana hukum masing-masingnya bila berdiri sendiri; terompet sendiri, duff sendiri. Maka siapa saja yang tidak memiliki kemampuan mendapatkan keterangan rinci tentang hal ini dan tidak memperhatikannya dengan teliti, bisa jadi akan meyakini adanya perselisihan di kalangan ulama madzhab Syafi'i dalam mendengar seluruh alat-alat musik ini.
Hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan oleh sebab itu hendaknya ia mendatangkan dalil-dalil syar'i dan logis. Sebab tidaklah semua perselisihan itu melegakan dan bisa jadi pegangan.
Maka siapa saja yang meneliti adanya perselisihan ulama dalam suatu persoalan dan mengambil keringanan dari pendapat-pendapat mereka, berarti ia terjerumus dalam perbuatan zindiq atau bahkan hampir menjadi zindiq."Demikian keterangan Ibnu Shalah dinukil oleh Ibnul Qayyim.
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al-Atsari hafidlahullah mengomentari pernyataan Ibnul Qayyim ini dengan menukil riwayat Al-Khalal (dalam Al-Amru bil Ma'ruf) dari Sulaiman At-Taimy yang mengatakan: "Kalau kamu mengambil setiap keringanan (rukhshah) dari seorang alim atau karena kekeliruannya, berarti telah terkumpul pada dirimu seluruh kejahatan." (Lihat Mawaridul Aman, hal. 303).
Ditambahkan pula oleh Abu Manshur Al-Azhari (Seorang Imam Ahli Lughah dan Adab bermadzhab Syafi'i wafat th. 370 H): "Mereka menamakan suara yang mereka perindah dengan syair-syair dalam berdzikrullah ini dengan taghbir, seakan-akan mereka bernyanyi ketika mengucapkannya dengan irama yang indah, kemudian mereka menari-nari lalu menamakannya mughbirah." (Talbis Iblis hal 230 dalam Kasyful Qina' hal 54).
Maka kalaulah seperti ini ucapan beliau terhadap at-taghbir dengan 'illahnya (alasan) karena menghalangi manusia dari Al-Qur'an, --padahal at-taghbir itu berisi syair-syair yang mendorong untuk zuhud (tidak butuh) terhadap dunia; para penyanyi mendendangkannya, sementara hadirin mengetuk-ngetuk sesuatu atau dengan mendecakkan mulut, sesuai irama lagu--, maka bagaimana pula ucapan beliau apabila mendengar nyanyian yang ada di zaman ini, at-taghbir bagi beliau bagai buih di lautan dan meliputi berbagai kejelekan bahkan mencakup segala perkara yang diharamkan?!
Adapun madzhab Imam Ahmad, sebagaimana dikatakan Abdullah puteranya, "Saya bertanya pada ayahku tentang al-ghina'. Beliau mengatakan al-ghina' menumbuhkan kemunafikan dalam hati, ini tidaklah mengherankanku." (Lihat Mawaridul Aman 305).Pada kesempatan lain beliau berkata: "Saya membencinya. Nyanyian itu adalah bid'ah yang diada-adakan. Jangan bermajelis dengan mereka (penyanyi)." (Talbis Iblis hal 228 dalam Kasyful Qina' hal 52).
Ibnul Jauzi menerangkan: "Sesungguhnya nyanyian itu mengeluarkan manusia dari sikap lurus dan merubah akalnya. Maksudnya jika seseorang bernyanyi (bermain musik), berarti ia telah melakukan sesuatu yang membuktikan jeleknya kesehatan akalnya, misalnya menggoyang-goyangkan kepalanya, bertepuk tangan, menghentak-hentakkan kaki ke tanah.
Dan ini tidak berbeda dengan perbuatan orang-orang yang kurang akalnya, bahkan sangat jelas bahwa nyanyian mendorong sekali ke arah itu, bahkan perbuatannya itu seperti perbuatan pemabuk. Oleh sebab itu, pantas kalau larangan keras ditujukan terhadap nyanyian." (Muntaqa Nafis 307).
Ibnul Qayyim pun menjelaskan dalam Mawaridul Aman hal 320-322: "Sesungguhnya ucapan Ibnu Mas'ud yang telah disebutkan tadi menunjukkan dalamnya pemahaman shahabat tentang keadaan hati, amalan-amalannya, sekaligus jelinya mereka terhadap penyakit hati dan obat-obatnya. Dan sungguh mereka adalah suatu kaum yang merupakan dokter-dokter hati, mereka mengobati penyakit-penyakit hati dengan obat terbesar dan paling ampuh."
Inti pernyataan ini adalah nyanyian itu melalaikan hati dan menghalanginya dari Al-Qur'an dalam upaya pemahaman serta pengamalannya.
Karena sesungguhnya Al-Qur'an dan al-ghina' tidak akan bersatu dalam sebuah hati, selamanya. Ya, karena keduanya memiliki berbagai perbedaan yang menyolok dan sangat bertolak belakang. Al-Qur'an mencegah kita untuk memperturutkan hawa nafsu, menganjurkan kita menjaga kehormatan dan harga diri sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya yang mulia, juga mengajak kita menjauhi dorongan-dorongan (syahwat) dan keinginan hawa nafsu serta berbagai sebab kesesatan lainnya.
Al-Qur'an juga melarang kita mengikuti dan meniru langkah-langkah syaithan. Sedangkan al-ghina' mengajak kita pada kebalikan dari yang diperintahkan dan dicegah oleh Al-Qur'an.
Bahkan al-ghina' memperindah pandangan kita terhadap syahwat dan hawa nafsu, mempengaruhi yang tersembunyi sekalipun, dan menggerakkannya kepada seluruh kejelekan serta mendorongnya untuk menuju kepada hal-hal yang (dianggap) menyenangkan.
Sebagian orang-orang arif berkata: "Mendengar nyanyian mewariskan kemunafikan pada suatu kaum, dusta, kekafiran dan kebodohan."
Warisan yang paling besar pengaruhnya akibat nyanyian adalah rasa rindu (asyik) terhadap bayangan (gambaran khayal), menganggap baik segala kekejian, dan apabila ini terus berlanjut, akan menyebabkan Al-Qur'an menjadi berat bagi hati, bahkan menimbulkan rasa benci apabila mendengarnya secara khusus.
Oleh sebab itu, jika hal yang seperti ini bukan kemunafikan, apalagi yang dikatakan hakekat kemunafikan itu?" Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Mawaridul Aman Muntaqa min Ighatsatil Lahfan hal. 322.
Penyanyi maupun yang mendengarkannya berada di antara dua kemungkinan. Bisa jadi dia akan membuka kedoknya berbuat terang-terangan sehingga jadilah ia orang yang durhaka. Atau di samping bernyanyi, ia juga menampakkan ibadahnya, akibatnya jadilah ia seorang yang munafik.
Dalam hal terakhir ini, ia menampakkan rasa cintanya kepada Allah dan kampung akhirat, sementara hatinya mendidih oleh gelegak syahwat, kecintaan terhadap perkara yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu suara alat-alat musik dan permainan-permainan lainnya serta hal-hal yang diserukan oleh nyanyian. Hatinya pun penuh dengan kejelekan itu, dan kosong atau sepi dari rasa cinta terhadap apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Inilah intinya nifaq.
Salah satu ciri kemunafikan adalah kurangnya dzikrullah, malas dan enggan menegakkan shalat, kalaupun shalat mematuk-matuk seperti burung makan jagung, sangat minim dzikirnya kepada Allah. Perhatikan firman Allah mengenai orang-orang munafiq ini:
"Jika mereka menegakkan shalat, mereka menegakkannya dalam keadaan malas, mereka ingin pujian dan perhatian manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit." (An-Nisa: 142)
Akhirnya dalam kenyataan saat ini kita tidak dapati mereka yang terfitnah dengan nyanyian melainkan inilah sebagian di antara sifat-sifat mereka. Dan di samping itu, nifaq juga dibangun di atas dusta, dan al-ghina' adalah kedustaan yang paling tinggi. Di dalamnya kejahatan menjadi sesuatu yang menarik dan indah, bahkan tak jarang ia menghiasi lebih indah lagi, dan setiap perkara kebaikan terasa jauh, sulit dijangkau dan sangat jelek. Inilah hakekat kemunafikan.
Al Ghina' merusak dan mengotori hati, sehingga apabila hati itu telah kotor apalagi rusak, hati akan menjadi lemah dan gampang takluk di bawah kekuasaan kemunafikan.
Ibnul Qayyim meneruskan, seandainya mereka yang memiliki bashirah memperhatikan dan membandingkan keadaan orang-orang yang bergelut dengan nyanyian dan mereka yang senantiasa menyibukkan diri dengan dzikrullah, nyatalah baginya betapa dalamnya pengetahuan dan pemahaman para shahabat terhadap hati dan penyakit-penyakit serta pengobatannya. (Demikian penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Mawaridul Aman 322-323)
Semoga keterangan ini dapat bermanfaat bagi orang yang menginginkan hatinya hidup dan selamat sebagai bekal baginya untuk menghadap Allah Ta'ala. Amin Ya Rabbal 'Alamin.
Beberapa Syubhat :
Orang-orang yang menganggap halal atau mubahnya (mendengarkan) nyanyian dan musik, beralasan bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits yang dijadikan dalil oleh orang-orang yang mengharamkan nyanyian dan musik tidak tepat bahkan hadits-hadits itu lemah.
[1] Nota Tambahan : Seandainya kita memerhati kenyataan yang ada, akan jelas bagi kita bahwa nyanyian yang lagha dan muzik yang hingar bingar itu menghalangi hati dari (memperhatikan dan memahami) Al-Qur'an. Bahkan keduanya mendorong untuk terpesona menatap kefasikan dan kemaksiatan. Oleh sebab itulah sebagian ulama menyebutkan nyanyian dan muzik-muzik ini bagaikan bisikan syaithan atau tabir yang menghalangi seorang hamba dari Ar-Rahman.
Sebagian mereka menyerupakannya dengan mantera yang mengiringi orang melakukan perbuatan liwath (homoseks atau lesbian ) dan zina. Kalaupun mereka mendengar Al-Quran (dibacakan), tidaklah berhenti gerak mereka dan ayat-ayat itu malah tidak mempengaruhi perasaannya. Sebaliknya apabila dilantunkan sebuah lagu, niscaya akan masuklah nyanyian itu dengan segera ke dalam pendengarannya, tersirna dari kedua matanya akan ungkapan perasaannya, kakinya bergoyang-goyang, menghentak ke lantai, tangannya bertepuk gembira dan tubuhnya meliuk menari-nari; api syahwat kerinduan dalam dirinya pun memuncak.
Hendaknya ini menjadi perhatian kita. Adakah pernah timbul rasa rindu ketika kita mendengar ayat-ayat Al-Quran dibacakan? Pernahkah muncul perasaan (haru dan tunduk atau khusyu') yang dalam saat kita membacanya? Cuba bandingkan tatkala kita mendengarkan nyanyian dan alat muzik!